Imam al-Layts bin Sa'd adalah seorang ulama fiqih yang memiliki kapasitas keilmuan setingkat imam-imam madzhab yang empat, bahkan ada para ulama yang mengunggulkannya atas imam Malik dari segi keilmuan. Sayang, tidak ada murid atau pengikut yang menyebarkan madzhab fiqihnya sehingga tidak berkembang seperti para imam madzhab yang empat.
Dari Lu’luah, pelayan khalifah Harun ar-Rasyid, ia berkata, “Terjadi silang pendapat antara Harun ar-Rasyid dan anak perempuan pamannya (sepupunya), Zubaidah yang telah menjadi isterinya. Harun berkata, ‘Kamu ditalak bila aku bukan termasuk ahli surga.’ Kemudian beliau menyesal atas ucapannya itu, lalu mengundang para ahli fiqih agar berkumpul guna memecahkan masalahnya. Setelah berkumpul dan berdiskusi, mereka pun berbeda pendapat bagaimana sebenarnya status sumpahnya tersebut. Khalifah Harun menulis surat kepada seluruh negeri agar menghadirkan para ulama terkemuka mereka ke istana. Tatkala mereka sudah berkumpul, ia menanyai mereka mengenai sumpahnya tersebut, yaitu “Kamu ditalak jika aku tidak masuk surga”.
Mereka kembali berselisih pendapat, lalu tinggallah seorang ulama (syaikh) lagi yang belum berbicara dan berada di deretan paling akhir dari majlis tersebut. Beliau lah Imam al-Layts bin Sa’d. Ia berkata, ‘Bila Amirul Mukminin mengosongkan majlsnya ini, aku bersedia berbicara dengannya.’ Lalu sang khalifah pun menyuruh para ulama yang ada disitu untuk meninggalkan majlis tersebut. Ia berkata lagi, ‘Saya mohon Amirul Mukminin didekatkan kepadaku.’ Maka ia pun mendekatinya. Syaikh yang ‘Alim ini berkata, ‘Apakah aku mendapatkan jaminan keamanan kalau berbicara.?” Amirul Mukminin menjawab, ‘Ya.’ Maka al-Layts memerintahkan agar dibawa kepadanya sebuah mushaf.
Ketika mushaf itu sudah dihadirkan, ia berkata, ‘Tolong dibuka wahai Amirul Mukminin hingga surat ar-Rahman. Lalu bacalah.’ Sang khalifah membacanya dan tatkala ia sampai pada ayat, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga” (QS.ar-Rahman:46) maka, al-Layts memerintahkan, ‘Tahan dulu, wahai Amirul Mukminin! Katakanlah, Wallaahi (Demi Allah).’ Ucapan syaikh ini membuat berat hati khalifah. Syaikh itu kembali berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, persyaratanku tadi adalah jaminan keamanan bukan.? (maksudnya, agar khalifah tidak mruka kepadanya atas permintaannya tersebut-red) Maka khalifah pun mengucapkan, ‘Wallaahi (Demi Allah),’ setelah itu berkatalah al-Layts, ‘Katakanlah, ‘Aku takut akan saat menghadap Tuhanku’ Maka khalifah menuruti perintah ulama langka itu dan mengulangi seperti apa yang diucapkannya. Al-Layts berkata lagi, ‘Wahai Amirul Mukminin, pahalanya dua surga bukan hanya satu surga.’!”
Periwayat mengatakan, “Lalu kami mendengar suara tepuk tangan dan luapan gembira di balik tirai. Maka berkatalah Harun ar-Rasyid, ‘Bagus apa yang kau putuskan itu.’ Lalu ia menghadiahi al-Layts dengan beberapa hadiah dan mengalokasikan honor untuknya.”
Ini merupakan sikap mulia yang menunjukkan indahnya ilmu di mana kebenaran dan etika sama-sama dijunjung tinggi.
Anda melihat bahwa Imam al-Layts mengetahui kemana arah fatwa, yaitu thalaq tersebut tidak jatuh bila ar-Rasyid adalah termasuk orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya. Ia juga melihat dirinya tidak boleh mengeluarkan fatwa begitu saja hingga syaratnya sudah kuat, yaitu takut kepada Allah Ta’ala. Dan ini dilakukan dengan cara meminta ar-Rasyid bersumpah hingga diri al-Layts merasa tenang bahwa fatwanya sudah benar. Ia juga meminta agar orang-orang yang ada di majlis dibubarkan dulu agar sumpah yang dimintanya dari ar-Rasyid tidak dilihat orang banyak, di samping agar ar-Rasyid tidak terpancing seperti yang ingin dilakukannya andaikata ia (al-Layts) tidak terlebih dahulu mengajukan persyaratan mendapatkan perlindungan darinya supaya dirinya bisa tentram. Jadi, fatwa yang dikeluarkan al-Layts tidak semata-mata spontanitas. Ia bersumber dari al-Qur’an itu sendiri, karena itu ia meminta al-Layts agar membaca ayat tersebut, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga” (QS.ar-Rahman:46).
Maka tenanglah hati ar-Rasyid dengan hal itu dan tahulah ia bawha dirinya masih bisa mempertahankan isterinya secara halal dan sah berdasarkan nash yang pasti dari Kalamullah.
Ini tentunya merupakan anugerah Allah, yang dalam kebanyakan kondisi tidak terlepas dari adab yang bagus bagi orang yang mau berpikir dan memahami.
(SUMBER: Mi’ah Qishshah Wa Qishshah karya Muhammad Amin al-Jundi, Juz II, hal.40-42)
Periwayat mengatakan, “Lalu kami mendengar suara tepuk tangan dan luapan gembira di balik tirai. Maka berkatalah Harun ar-Rasyid, ‘Bagus apa yang kau putuskan itu.’ Lalu ia menghadiahi al-Layts dengan beberapa hadiah dan mengalokasikan honor untuknya.”
Ini merupakan sikap mulia yang menunjukkan indahnya ilmu di mana kebenaran dan etika sama-sama dijunjung tinggi.
Anda melihat bahwa Imam al-Layts mengetahui kemana arah fatwa, yaitu thalaq tersebut tidak jatuh bila ar-Rasyid adalah termasuk orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya. Ia juga melihat dirinya tidak boleh mengeluarkan fatwa begitu saja hingga syaratnya sudah kuat, yaitu takut kepada Allah Ta’ala. Dan ini dilakukan dengan cara meminta ar-Rasyid bersumpah hingga diri al-Layts merasa tenang bahwa fatwanya sudah benar. Ia juga meminta agar orang-orang yang ada di majlis dibubarkan dulu agar sumpah yang dimintanya dari ar-Rasyid tidak dilihat orang banyak, di samping agar ar-Rasyid tidak terpancing seperti yang ingin dilakukannya andaikata ia (al-Layts) tidak terlebih dahulu mengajukan persyaratan mendapatkan perlindungan darinya supaya dirinya bisa tentram. Jadi, fatwa yang dikeluarkan al-Layts tidak semata-mata spontanitas. Ia bersumber dari al-Qur’an itu sendiri, karena itu ia meminta al-Layts agar membaca ayat tersebut, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga” (QS.ar-Rahman:46).
Maka tenanglah hati ar-Rasyid dengan hal itu dan tahulah ia bawha dirinya masih bisa mempertahankan isterinya secara halal dan sah berdasarkan nash yang pasti dari Kalamullah.
Ini tentunya merupakan anugerah Allah, yang dalam kebanyakan kondisi tidak terlepas dari adab yang bagus bagi orang yang mau berpikir dan memahami.
(SUMBER: Mi’ah Qishshah Wa Qishshah karya Muhammad Amin al-Jundi, Juz II, hal.40-42)
Post a Comment