Ia menemukan jawaban semua pertanyaannya di dalam Alquran. Tak pernah terbayangkan dalam hidup Jared Craig Morris (26 tahun) berpindah soal keyakinannya. Ia dibesarkan dalam keluarga Kristen Protestan dan saat kecil ia pernah punya cita-cita menjadi seorang pastor.
Satu momen yang paling diingatnya, yang memantapkan dirinya untuk masuk Islam adalah saat menggendong putri pertamanya. Tiga tahun lalu, tepatnya 7 Juni 2010, putrinya yang diberi nama Mary Lee Rose lahir.
''Saat itu, bidan memberikannya pada saya untuk digendong, kemudian dia langsung berhenti menangis,'' ujarnya dilansir dari laman ifoundislam, pekan lalu.
Momen ini tak pernah akan dilupakannya. ''Saat itu, saya memandang lekat mata indah anak perempuan saya, dan saya merasa yakin tentang keberadaan Allah,'' kata pria Amerika ini.
Latar belakang keluarga Craig sebenarnya adalah Kristen yang taat. Saat berusia 12 tahun, ia punya cita-cita untuk menjadi pastor.
Semua kesehariannya fokus pada cita-cita tersebut, banyak membaca buku, dan bertemu ahli agama Kristen. Alkitab selalu dipelajarinya secara nonsteop, dibawa kemana pun dan dibacanya berkali-kali.
Ia lahir di Indianapolis, negara bagian Indiana, kemudian besar di daerah Hamilton. Selama itu, tak pernah ia bersentuhan langsung dengan Islam.
Hingga akhirnya, ia bertemu seorang mualaf di tempat kerjanya, enam bulan sebelum kelahiran putrinya. Mereka kemudian banyak berbincang tentang Islam.
Sang mualaf tersebut tidak pernah bermaksud untuk mengajak, apalagi memaksa Jared agar masuk Islam. Obrolan mereka kebanyakan bersifat ringan, diiringi gelak tawa, layaknya mengobrol bersama dengan teman lainnya.
Dalam setiap obrolan tersebut, ia mendapatkan gambaran tentang Islam. Sebuah hal yang tidak pernah dikenalnya sejak ia kecil.
Ketika kecil saat ia rajin membaca buku-buku agama, ia tak pernah mendapatkan informasi tentang Islam. Agama lain seperti Buddha, Hindu, ia pernah tahu. Namun Islam, baru ia dengar sekarang.
Selain kurang informasi, ia sendiri sangat jarang bertemu dengan orang yang beragama Islam. Justru, di Amerika semua media, baik televisi maupun surat kabar, terkesan memusuhi Islam dan selalu menjelek-jelekkannya.
Temannya ini membuka matanya pada Islam. Ia pun punya kesimpulan Islam dan Kristen sebenarnya sangat mirip, hanya ada beberapa perbedaan esensi di antara keduanya.
Kemudian, temannya yang mualaf itu pindah. Ia pun merasa kehilangan. ''Walau ia telah jauh, tapi kami terus berhubungan,'' katanya.
Di saat ia merasa kehilangan seorang teman yang membuka wawasannya tentang Islam, ia pun mempertanyakan imannya. ''Saya ingin lebih yakin pada keberadaan Tuhan,'' ujarnya.
Perang batin ini membuatnya frustrasi. Ia muak dengan semua dokumentasi yang menjelek-jelekkan Islam. Padahal, ia mulai mengagumi Islam, salah satunya adalah cara ibadahnya yang menyembah pencipta-Nya (ini berarti sikap sujud ketika shalat).
Lama kelamaan, ia justru melihat sisi jelek dari agama yang selama ini ia anut. Ia pun mulai membandingkan. Ia merasa dia tidak sesuci umat Islam. Bahkan, ia iri dengan umat Muslim yang bisa setaat itu pada Tuhannya.
Ia hanya ingin menjadi manusia yang taat dan bisa percaya pada Tuhannya dengan sepenuh hati. Namun, ia tidak tahu harus mencari informasi yang menenteramkan jiwanya ke mana lagi.
Dalam kebimbangannya ia merasa mendapatkan jalan buntu. Ia bahkan ditinggalkan oleh calon istrinya, mengalami kesulitan keuangan, dan ia pun menjadi pengangguran.
Ia sadar, saat itu tak ada lagi yang peduli padanya. Padahal, selama ini ia telah bekerja keras untuk menjadi seorang penganut Kristen yang baik.
Ia pun frustrasi dengan hal ini dan saat itu hatinya berkata untuk mulai mencari tahu tentang Islam. Ia mengunjungi Masjid Al Huda dan bertemu dengan beberapa kaum Muslim di sana.
Selama dua hari, ia banyak berbincang tentang Islam. ''Mereka mengatakan kepada saya, betapa pentingnya menjadi seorang Muslim,'' katanya.
Di sana ia juga diperlihatkan sebuah Alquran dan ia terkejut ternyata kisah lahirnya Yesus dijelaskan. Di sanalah ia mendapatkan informasi yang benar tentang Islam, terorisme yang dilakukan ternyata tidak dibenarkan oleh Alquran.
Sepulangnya dari tempat tersebut, justru ia bertambah galau. Ia pun pergi ke gereja dan mengajukan banyak pertanyaan pada pendetanya.
Sang pendeta tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan berdasarkan Alkitab. ''Ini sangat berbeda dengan Alquran di mana semua jawaban atas pertanyaan saya ada di sana,'' ujarnya.
Alquran, menurutnya, bisa memberikan jawaban dengan cara yang masuk akal. ''Saya masih ingin lebih banyak bukti dan lebih banyak bukti lagi yang meyakinkan bahwa Islam adalah agama yang tepat bagi saya,'' katanya.
Satu hal lagi yang memantapkan hatinya adalah konsep politik dan kepemimpinan dalam Islam. Selain itu, seringnya ia bertemu dengan orang Muslim membuat kedekatan antarsesama Muslim ini seperti saudara. ''Saya pun mantap untuk mengucapkan dua kalimat syahadat,'' katanya.
Gugup. Itu yang ia rasakan sebelum bersyahadat. Apalagi, kesaksiannya masuk Islam disaksikan orang banyak.
Namun, setelah dua kalimat syahadat terlontar dari mulutnya, ia langsung merasa berbeda. ''Saya merasa benar-benar tanpa dosa untuk pertama kalinya dalam hidup saya,'' ujarnya.
Sumber : Republika
Satu momen yang paling diingatnya, yang memantapkan dirinya untuk masuk Islam adalah saat menggendong putri pertamanya. Tiga tahun lalu, tepatnya 7 Juni 2010, putrinya yang diberi nama Mary Lee Rose lahir.
''Saat itu, bidan memberikannya pada saya untuk digendong, kemudian dia langsung berhenti menangis,'' ujarnya dilansir dari laman ifoundislam, pekan lalu.
Momen ini tak pernah akan dilupakannya. ''Saat itu, saya memandang lekat mata indah anak perempuan saya, dan saya merasa yakin tentang keberadaan Allah,'' kata pria Amerika ini.
Latar belakang keluarga Craig sebenarnya adalah Kristen yang taat. Saat berusia 12 tahun, ia punya cita-cita untuk menjadi pastor.
Semua kesehariannya fokus pada cita-cita tersebut, banyak membaca buku, dan bertemu ahli agama Kristen. Alkitab selalu dipelajarinya secara nonsteop, dibawa kemana pun dan dibacanya berkali-kali.
Ia lahir di Indianapolis, negara bagian Indiana, kemudian besar di daerah Hamilton. Selama itu, tak pernah ia bersentuhan langsung dengan Islam.
Hingga akhirnya, ia bertemu seorang mualaf di tempat kerjanya, enam bulan sebelum kelahiran putrinya. Mereka kemudian banyak berbincang tentang Islam.
Sang mualaf tersebut tidak pernah bermaksud untuk mengajak, apalagi memaksa Jared agar masuk Islam. Obrolan mereka kebanyakan bersifat ringan, diiringi gelak tawa, layaknya mengobrol bersama dengan teman lainnya.
Dalam setiap obrolan tersebut, ia mendapatkan gambaran tentang Islam. Sebuah hal yang tidak pernah dikenalnya sejak ia kecil.
Ketika kecil saat ia rajin membaca buku-buku agama, ia tak pernah mendapatkan informasi tentang Islam. Agama lain seperti Buddha, Hindu, ia pernah tahu. Namun Islam, baru ia dengar sekarang.
Selain kurang informasi, ia sendiri sangat jarang bertemu dengan orang yang beragama Islam. Justru, di Amerika semua media, baik televisi maupun surat kabar, terkesan memusuhi Islam dan selalu menjelek-jelekkannya.
Temannya ini membuka matanya pada Islam. Ia pun punya kesimpulan Islam dan Kristen sebenarnya sangat mirip, hanya ada beberapa perbedaan esensi di antara keduanya.
Kemudian, temannya yang mualaf itu pindah. Ia pun merasa kehilangan. ''Walau ia telah jauh, tapi kami terus berhubungan,'' katanya.
Di saat ia merasa kehilangan seorang teman yang membuka wawasannya tentang Islam, ia pun mempertanyakan imannya. ''Saya ingin lebih yakin pada keberadaan Tuhan,'' ujarnya.
Perang batin ini membuatnya frustrasi. Ia muak dengan semua dokumentasi yang menjelek-jelekkan Islam. Padahal, ia mulai mengagumi Islam, salah satunya adalah cara ibadahnya yang menyembah pencipta-Nya (ini berarti sikap sujud ketika shalat).
Lama kelamaan, ia justru melihat sisi jelek dari agama yang selama ini ia anut. Ia pun mulai membandingkan. Ia merasa dia tidak sesuci umat Islam. Bahkan, ia iri dengan umat Muslim yang bisa setaat itu pada Tuhannya.
Ia hanya ingin menjadi manusia yang taat dan bisa percaya pada Tuhannya dengan sepenuh hati. Namun, ia tidak tahu harus mencari informasi yang menenteramkan jiwanya ke mana lagi.
Dalam kebimbangannya ia merasa mendapatkan jalan buntu. Ia bahkan ditinggalkan oleh calon istrinya, mengalami kesulitan keuangan, dan ia pun menjadi pengangguran.
Ia sadar, saat itu tak ada lagi yang peduli padanya. Padahal, selama ini ia telah bekerja keras untuk menjadi seorang penganut Kristen yang baik.
Ia pun frustrasi dengan hal ini dan saat itu hatinya berkata untuk mulai mencari tahu tentang Islam. Ia mengunjungi Masjid Al Huda dan bertemu dengan beberapa kaum Muslim di sana.
Selama dua hari, ia banyak berbincang tentang Islam. ''Mereka mengatakan kepada saya, betapa pentingnya menjadi seorang Muslim,'' katanya.
Di sana ia juga diperlihatkan sebuah Alquran dan ia terkejut ternyata kisah lahirnya Yesus dijelaskan. Di sanalah ia mendapatkan informasi yang benar tentang Islam, terorisme yang dilakukan ternyata tidak dibenarkan oleh Alquran.
Sepulangnya dari tempat tersebut, justru ia bertambah galau. Ia pun pergi ke gereja dan mengajukan banyak pertanyaan pada pendetanya.
Sang pendeta tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan berdasarkan Alkitab. ''Ini sangat berbeda dengan Alquran di mana semua jawaban atas pertanyaan saya ada di sana,'' ujarnya.
Alquran, menurutnya, bisa memberikan jawaban dengan cara yang masuk akal. ''Saya masih ingin lebih banyak bukti dan lebih banyak bukti lagi yang meyakinkan bahwa Islam adalah agama yang tepat bagi saya,'' katanya.
Satu hal lagi yang memantapkan hatinya adalah konsep politik dan kepemimpinan dalam Islam. Selain itu, seringnya ia bertemu dengan orang Muslim membuat kedekatan antarsesama Muslim ini seperti saudara. ''Saya pun mantap untuk mengucapkan dua kalimat syahadat,'' katanya.
Gugup. Itu yang ia rasakan sebelum bersyahadat. Apalagi, kesaksiannya masuk Islam disaksikan orang banyak.
Namun, setelah dua kalimat syahadat terlontar dari mulutnya, ia langsung merasa berbeda. ''Saya merasa benar-benar tanpa dosa untuk pertama kalinya dalam hidup saya,'' ujarnya.
Sumber : Republika
Post a Comment